Industri Musik Ambruk akibat Musik Digital ??

Musik Digital. Toko musik Disc Tarra yang berada di salah satu mal terkenal di Jakarta Selatan melakukan "cuci gudang" dengan diskon hingga 70 persen untuk produk kaset, CD, dan DVD. Beberapa pengunjung pada Kamis (24/12/2015) tampak melihat-lihat cakram musik di jajaran rak yang isinya mulai kosong di toko tersebut. Toko musik yang pernah berjaya pada era 1990-an itu dikabarkan akan menutup sebagian besar gerainya.

Kondisi toko musik Disc Tarra seolah menjadi penanda jejak industri musik konvensional yang pernah mengalami masa kejayaan. Sebelum Disc Tarra, salah satu pengecer musik legendaris, Aquarius Mahakam, sudah terlebih dahulu gulung tikar pada akhir 2013. Situasi ini mengilustrasikan redupnya industri musik yang dulu mengandalkan penjualan kepingan kaset atau CD.

Perkembangan teknologi digital telah mengubah gaya hidup generasi muda, termasuk dalam cara dan kebiasaan mengonsumsi musik. Kondisi itu juga tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan Agustus 2015. Hanya 1 persen dari 734 responden yang berhasil terjaring dalam jajak pendapat ini yang mengaku masih mendengarkan musik lewat perangkat pemutar kaset atau CD.

Mayoritas responden kelompok muda lebih terbiasa menikmati musik melalui internet, baik dengan cara mengunduh maupun mendengarkan langsung secara streaming. Tidak kurang dari 62 persen dari 734 responden mengaku biasa mengunduh lagu dalam format digital di internet. Selain itu, sekitar 15 persen lainnya mengakses melalui streaming musik di laman Youtube. Semakin muda kelompok usia responden, semakin kuat juga kebiasaan mereka mengonsumsi musik dalam bentuk digital.

Hasil penelitian Global World Index menyimpulkan bahwa jumlah orang yang mendengarkan musik lewat internet meningkat hingga 76 persen selama periode 2012-2015. Mayoritas orang yang memanfaatkan teknologi tersebut adalah mereka yang berusia 16 hingga 24 tahun.

Data lain dari organisasi industri rekaman dunia International Federation of Phonographic Industry (IFPI) mencatat sebanyak 46 persen pendapatan industri musik secara global pada 2014 sudah dikuasai rekaman musik digital.

Sementara itu, rekaman musik fisik sebesar 46 persen dan 8 persen sisanya dari pertunjukan dan sinkronisasi (pemanfaatan untuk iklan, film, games, program TV). Tren pertumbuhan nilai pendapatan di industri musik digital pun menunjukkan prospek yang cerah, rata-rata 9,4 persen per tahun pada periode 2009-2014. Pada 2009, pendapatan industri musik digital global meraup 4,4 miliar dollar AS. Lima tahun kemudian kembali melonjak menjadi 6,9 miliar dollar AS.

Perkembangan teknologi gawai dan telekomunikasi semakin memanjakan konsumen. Jenis aplikasi dan layanan streaming musik berbasis internet terus berkembang menyediakan jutaan koleksi lagu yang dapat diakses baik secara gratis maupun berbayar.

Aplikasi gratis untuk mengunduh musik antara lain Youtube yang menyajikan berbagai tayangan termasuk musik dalam format video. Sementara aplikasi Soundcloud menyediakan koleksi musik dalam format audio. Kedua aplikasi tersebut dapat dengan mudah diakses melalui telepon genggam.

Sementara bagi mereka yang mengutamakan kualitas suara (video), beberapa aplikasi menawarkan layanan berbayar dengan cara berlangganan. Laman/aplikasi berbayar ini antara lain Vevo, Deezer, Guvera, MixRadio, Spotify, dan Joox.

Tidak ketinggalan produsen telepon pintar dan operating system juga fokus pada pasar penikmat musik dengan layanan aplikasi semacam iTunes dari Apple, atau aplikasi musik yang disediakan di Google Play Store bagi pengguna Android.

Rekaman fisik ditinggalkan

Industri musik yang mengandalkan bentuk rekaman fisik tergilas oleh industri musik dalam format digital. Industri musik Tanah Air pernah mengalami masa keemasan pada periode 1990-an dengan puncak penjualan album musik yang mencapai 77,5 juta kopi.

Resesi ekonomi pada 1998 sempat menyusutkan angka penjualan menjadi 41,6 juta kopi. Meski demikian, kembali meningkat dengan capaian 64,5 juta kopi di tahun 1999. Selepas tahun 2000, industri musik di Tanah Air mulai lesu dan terus merosot hingga saat ini. Bahkan, penjualan rekaman musik pada 2011 hingga 2013 tercatat rata-rata hanya 5 juta keping per tahun (Kompas, 27/11).

Pasar kaset, CD, dan DVD terus merosot, antara lain, juga sebagai akibat bergesernya cara konsumsi dan gaya hidup konsumen. Faktor lain yang mempercepat lumpuhnya industri musik konvensional ini antara lain juga akibat kemudahan teknologi yang mendorong maraknya pembajakan.

Model pembajakan ini tak hanya berupa penggandaan rekaman dalam bentuk kaset, CD, atau DVD ilegal. Lebih dari itu, masyarakat demikian mudah menggandakan musik dari format cakram ke bentuk digital untuk kemudian dibagikan secara bebas dan terbuka di internet.

Hasil survei Asosiasi Industri Rekaman Indonesia tahun 2013 menyebutkan terjadi sekitar enam juta kali pengunduhan ilegal lagu setiap hari melalui internet. Hal ini mengakibatkan industri rekaman menanggung kerugian hingga Rp 6 miliar per hari. Ini berarti industri musik Tanah Air kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 180 miliar per bulan atau Rp 2,16 triliun per tahun.

Tidak bisa dimungkiri kehadiran teknologi internet yang menghadirkan dunia digital telah mengubah banyak hal secara masif dan luas. Perubahan gaya hidup masyarakat mengakibatkan berbagai media yang sebelumnya melekat dalam keseharian menjadi tidak relevan lagi. Kaset, CD, dan DVD sangat mungkin tidak lagi mendominasi, tetapi akan tetap bertahan dan beradaptasi seperti piringan hitam yang sempat berjaya di masa silam.

Sumber : http://print.kompas.com/baca/2016/01/05/Industri-Musik-Redup-oleh-Digital

Industri Musik Ambruk akibat Musik Digital  ??
Item Reviewed: Industri Musik Ambruk akibat Musik Digital ?? 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Silahkan meninggalkan komentar dengan bahasa yang relevan dan sopan.. # Don't Spamm ! #

Komentar Terbaru

Just load it!