http://www.langitmusik.com
Musik digital adalah malaikat penyelamat masa depan industri musik. Sebuah pernyataan yang menimbulkan banyak pertanyaan. Benarkah demikian? Satu dasawarsa kebelakang industri musik dunia diprediksi banyak kalangan akan menuju kehancuran bila tak cepat-cepat dicari jalan keluar. Penurunan drastis penjualan fisikal (kaset,CD) secara global menjadi indikator kehancuran. Namun secercah harapan datang ketika di saat bersamaan penjualan konten musik digital ternyata melonjak.
Sebelum kita bicara masa depan, mari sedikit menengok kebelakang akan sejarah musik digital yang tak lepas dari perkembangan industri musik konvensional. Seiring berjalannya waktu serta perkembangan teknologi, industri musik dunia juga mengalami banyak perubahan yang ditandai dengan pergantian produk, tren dan media penunjang. Kita runut mulai dari produk ponograf, vinil, kaset, CD, hingga produk-produk digital semisal MP3, WAV, WMA dll.
Namun yang paling menarik perhatian diantara produk digital itu adalah format MP3, sebuah media pemutar lagu yang dikemudian hari sangat bersentuhan langsung dengan konsumen penikmat musik karena formatnya yang sangat bersahabat buat orang, sekalipun awam terhadap musik digital.
Ada sebuah sindrom dari pelaku industri konvensional yaitu cenderung mempertahankan area ‘comfort zone’ diantara serbuan modernisasi. Sindrom ini juga terjadi di industri musik. Ini kasat terlihat saat pelaku industri musik ‘takut’ mengadopsi hal-hal baru teknologi musik digital, yang memang melompat jauh dari kacamata industri musik konvensional. Salah satu alasan klasik menolak mengadopsi teknologi adalah relevansi industri dengan hak cipta, khususnya hak cipta lagu yang merupakan modal utama bisnis. Karena dengan berhasil memonopoli hak cipta lagu, perusahaan rekaman bebas mengontrol penjualan dalam bentuk apapun. Mereka lupa bahwa musik berada dalam area industri kreatif yang sangat dinamis.
Seharusnya pelaku industri musik belajar dari sejarah. Beberapa penolakan yang diantaranya justru menjadi semacam ‘kutukan’ buat industri itu sendiri. Di tahun 60-an terjadi penolakan besar-besaran ketika produk ponograf yang sedang ‘wangi’ saat itu akan digantikan produk baru bernama kaset. Kemudian berulang saat compact disc (CD) masuk industri tahun 80-an menggantikan kaset yang juga terjadi penolakan massal. Masih di era 80-an, kita ingat industri musik juga pernah menolak kehadiran MTV dengan cara tidak mau memberikan videoklip untuk diputar di televisi khusus musik itu. Padahal kita tahu, bermuasal dari MTV kemudian televisi menjadi salah satu media promosi musik yang paling sahih saat ini.
Tahun 90-an ditemukan media pemutar lagu bernama MP3 (MPEG Audio layer III) yang sangat mewakili era digital di industri musik. MP3 merupakan bagian dari ‘keluarga’ MPEG ( Motion Pictures Expert Group), suatu standar untuk format video dan audio dengan sistem kompresi. Temuan Profesor Karl Heinz Brandenburg yang memadukan ilmu matematika, elektronika dan suara ini alih-alih disambut baik, industri musik kembali menolak. MP3 ditolak karena rentan penyalah gunaan hak cipta. Tetapi format ini tak menunggu waktu lama untuk cepat meluas. Apalagi ketika mesin pemutar MP3 bernama WinAmp dirilis secara cuma-cuma di internet.
Puncak penolakan MP3 adalah ketika asosiasi perusahaan rekaman besar di Amerika termasuk sebagian musisi ramai-ramai mengajukan gugatan class action terhadap Napster, sebuah perusahaan music sharing berbasis internet temuan Shawn Fenning. Metallica menjadi salah satu ikon penentang nya. Materi gugatan buat Napster adalah pelanggaran hak cipta. Disaat itu idustri musik terkejut ketika Napster menawarkan sistim file sharing peer to peer. Setiap orang di seluruh dunia bisa dengan mudah berbagi lagu secara gratis dalam bengtuk mp3. Napster akhirnya ditutup, tetapi industri musik berbasis internet yang dimulainya itu meninggalkan jejak yang maha dahsyat di internet. Dari situlah kemudian lahir software file sharing lainnya seperti Audiogalaxy, Morpheus, LimeWire, Emule, atau yang paling beken saat ini 4shared.
Kegemaran anak muda di seluruh dunia mengunduh musik digital baik secara legal maupun illegal ditambah perkembangan teknologi informasi yang kian canggih membuat industri musik konvensional tergopoh-gopoh. Dampaknya sangat signifikan pada distribusi dan penjualan fisikal kaset dan CD. Puncak ambruknya industri musik konvensional di Amerika –yang menjadi barometer industri musik dunia- ketika distributor dan penjual musik ritel terbesar di Amerika, Tower Records, gulung tikar tahun 2006.
Rupanya aksi asosiasi perusahaan rekaman saat itu menolak Napster diyakini sebagai ‘keputusan terbodoh yang pernah diambil para pertinggi industri musik’, Keputusan yang justru tidak diduga telah me-revolusi industri musik secara global hingga menjadi seperti sekarang ini. Dari pada memusuhi, seharusnya saat itu mereka memiliki opsi untuk menginkorporasikan perusahaan semacam Napster ke dalam produksi dan distribusi industri rekaman. Tapi mereka melepas opsi itu, karena panik.
Sekarang, perusahaan rekaman besar banyak yang telah gulung tikar atau setidaknya merevitalisasi usahanya karena tidak bisa menyaingi pembelian dan distribusi musik lewat internet yang justru semakin menjadi pilihan. iTunes store punya Apple adalah contoh sukses penjualan musik digital. Konsumen pembeli CD menurun drastis, sementara pembeli format musik digital kian berlipat ganda jumlahnya. Tren ini juga diikuti melonjaknya penjualan beragam jenis mp3 player. Sejarah pun membuktikan bahwa manusia berpihak pada teknologi yang bisa membuat hidup manusia menjadi lebih mudah.
Tak hanya perusahaan rekaman yang melakukan perubahan. Para musisipun bereaksi melakukan terobosan menyikap perubahan jaman. Radiohead, salah satu band sohor dunia bikin heboh ketika merilis sendiri albumnya lewat internet. Metodenya sederhana. Siapapun dan dari belahan dunia manapun selama tersambung dengan internet boleh mengunduh lagu barunya dengan membayar sesuka dan sekemampuan kocek. Pengguna internet diberi kebebasan penuh menentukan harga, Ada yang membayar 1 atau 2 dolar atau lebih, tapi ada juga yang mau gratisan. Dan apa yang dilakukan Radiohead juga ditiru oleh banyak musisi, termasuk di Indonesia. Dan bisa diduga, yang kalang kabut adalah perusahaan rekaman konvensional yang tak punya kuasa menolak perkembangan teknologi. Nampaknya internet dan musik digital menjadi tulang punggung bangkitnya industri musik dunia di masa datang.
Bagaimana dengan Indonesia?. Kita juga menikmati kemudahan yang sudah dirintis Napster. Kemudahan itu ditandai dengan begitu gampangnya kita mengunduh lagu-lagu dari internet, lepas itu legal atau illegal. Pelakon industri musik nagri yang tidak tanggap dalam mencermati era musik digital ini, dipastikan, cepat atau lambat pasti akan tergusur.
Penjualan konten musik digital di Indonesia juga mengalami peningkatan tajam seiring meredupnya bisnis penjualan fisikal. Tapi ada hal berbeda yang terjadi di tanah air jika membandingkan dengan Amerika misalnya. Walau sama-sama menunjukkan kebangkitan penjualan musik digital, namun penjualan musik digital kita ditandai dengan booming-nya penjualan lagu dalam format ringback tone, lagu pengganti nada tunggu dalam telepon seluler.
Kita lihat faktanya. Ringback tone (RBT) tiba-tiba menjadi primadona perusahaan rekaman dalam menggerus rupiah menggantikan penjualan fisik yang menukik jatuh menuju kepunahan. Sejak resmi diperkenalkan oleh operator telekomunikasi seluler ,termasuk Telkomsel, pada Agustus 2004, layanan RBT menjadi semacam obat atau bahkan rejeki nomplok dari label merujuk penjualan fisik yang anjlok. Ironisnya obat penawar ini datang dari operator telekomunikasi seluler, bukan dari perusahaan rekaman sendiri.
Tahun 2006 Panasonic Award pertama kalinya memberikan penghargaan untuk kategori RBT lagu yg paling banyak diunduh kepada lagu ‘Kenangan Terindah’ dari Samson yang diunduh lebih dari 2.,1 juta kali. Ringback tone menjadi tambang emas industri musik. Dan ini menjadi bukti nyata ketika musik digital kemudian menjadi harapan masa depan industri musik tanah air.
Tapi toh setelah berjalan tujuh tahun, untuk bisa menunjang hidup industri musik jangka panjang, kita tak bisa bergantung pada ringback tone saja. Karena walau tambang emas, tetap saja lahannya menyempit ketika semua pekerja terjun dalam satu tambang secara bersamaan. Apalagi, ringback tone itu hanyalah sebuah fashion dan produk gaya hidup yang tak bisa diprediksi dengan hitungan ilmu pasti. “Sampai sekarang belum ada yang bisa menggantikan ringback tone. Penggantinya apa setelah itu. Kalau tak ada penggantinya, label rekaman benar-benar bisa tutup,” kata Jan Djuhana kepada majalah Rolling Stone setahun silam. Senior A&R Sony Music Enterteinment Indonesia ini nampak pesimis. Ya , apalagi setelah ringback tone?
Digital music superstore bernama Langitmusik adalah produk Telkomsel yang mungkin bisa menjawab pertanyaan itu. Dengan menyediakan layanan download bagi pelanggan Telkomsel yang ingin menikmati musik full track berkualitas baik secara mudah. Pelanggan dapat mengunduh musik dan video digital langsung di ponsel lewat akses internet. Untuk melindungi dari pembajakan, Telkomsel menggunakan platform Digital Rights Management (DRM), teknologi yang bisa membatasi pemindahan file musik yang telah diunduh. Untuk memanjakan pelanggan, tersedia puluhan ribu lagu dan video dalam katalok Langitmusik.
Akhir tahun silam Telkomsel sndiri mencatat pendapatan dari layanan bisnis konten musik digital mencapai Rp 600 miliar dengan pendapatan terbesar masih didominasi layanan ringback tone. Dari total pelanggan Telkomsel yang 96 juta orang, bisnis musik digital sangat berpotensi.
Positifnya, bersinergi dengan semangat melawan pembajakan, penghasilan yang meningkat di musik digital sedikitnya -walau masih benar-benar sedikit- bisa menggerus nilai penjualan dari jalur pembajakan yang diperkirakan mencapai Rp 5 trliun itu. Kita toh tetap berharap dan coba bereaksi nyata lewat teknologi untuk memerangi kejahatan pembajakan. Tak hanya meneriakkan slogan anti pembajakan yang sekarang menjadi retorika basi mengingat selama lebih dari 30 tahun slogan itu dikumandangkan tapi toh tetap tak ada perubahan, kalau tidak semakin menjadi. Musik digital menjadi semacam harapan kebangkitan industri musik tanah air. (Andre OPA Sumual)
*berbagai sumber